RSS

Penyakit Q-Fever


Penyakit Q-Fever
v Patogenesa
C. burnetti merupakan parasit intraseluler obligat yang terkait dengan genus Rickettsia. Demam Q adalah zoonosis yang sangat menular di mana reservoir utama adalah baik arthropoda (terutama kutu) atau hewan ternak, sapi misalnya, domba, kambing, meskipun hewan peliharaan (anjing, kelinci dan khususnya kucing) mungkin reservoir di daerah perkotaan, dan tikus liar telah terbukti menjadi reservoir potensial di Inggris
Hewan yang terinfeksi dengan menghirup atau menelan materi yang terinfeksi:  Ini menghasilkan spora yang dapat bertahan dalam tanah untuk 150 hari. Mereka menumpahkan bakteri dalam urin, feses atau susu.
Mereka jarang sakit, tetapi bakteri melokalisasi dalam uterus dan kelenjar susu dan menjadi diaktifkan kembali selama kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan aborsi dalam masalah domba dan reproduksi pada sapi. Konsentrasi yang sangat tinggi dari C. burnetii ditemukan di plasenta. 
Manusia biasanya terinfeksi dari hewan domestik: Ini adalah melalui menghirup organisme, meskipun kadang-kadang dengan menelan susu mentah.  Masa inkubasi sekitar 2 minggu (2-29 hari) setelah inhalasi
Demam Q Fever adalah penyakit di seluruh dunia dengan tahap akut dan kronis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii. Sapi, domba, dan kambing adalah reservoir utama meskipun berbagai spesies mungkin terinfeksi. Organisme yang diekskresikan dalam air susu, urin, dan feses hewan yang terinfeksi. Selama melahirkan organisme adalah gudang dalam jumlah tinggi dalam cairan ketuban dan plasenta. Organisme ini sangat kuat dan tahan terhadap panas, pengeringan, dan desinfektan yang umum yang memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan. Infeksi manusia biasanya terjadi jika terhirup dari organisme ini dari udara yang mengandung debu lumbung udara terkontaminasi oleh bahan plasenta kering, cairan kelahiran, dan kotoran hewan yang terinfeksi. Mode lainnya penularan ke manusia, termasuk gigitan kutu, konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau produk susu, dan penularan antar manusia, jarang terjadi. Manusia seringkali sangat rentan terhadap penyakit.
v Diagnosa Laboratorium
Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang.
Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
v Spesimen yang diambil untuk tujuan diagnosa laboratorium
Adapun diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. Burnetti jadi spesimen yang diambil berupa serum darah.
Sedangkan untuk pengujian IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi dengan mengambil spesimen  jaringan yang terinfeksi seperti pada organ plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain),
Selain itu spesimen lain yang bisa diambil untuk uji PCR yaitu susu, telur, kotoran dan cairan vagina.
v Pengujian di Laboratorium
Adapun pengujian-pengujian yang dilakukan dalam laboratorium yaitu sebagai berikut :
1.    Capillary-Tube Agglutination
Metode serologis ini merupakan salah satu metode serologis tertua yang dipakai untuk mendeteksi Q-fever selain n2icroagglutination technique dan indirecthaemolysis test (Anonim 2004). Uji ini dilakukan dengan mengambil serum darah dari hewan melalui vena jugularis dengan jumlah sekitar 10 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tube test yang steril dan disirnpan di dalam refrigerator bersuhu 4-10oC. Lalu antigen dimasukkan ke dalam capillary tube kira-kira 113 bagian dari capilla~y tube. Selanjutnya masukkan serum sampel dan Ietakkan dalam posisi vertikal di tanah liat dengan antigen berada di bawah. Kemudian disimpan dalam suhu karnar selama 4 jam, baru dibaca hasilnya. Setelah itu dibaca kembali hasilnya setelah 24 jam. Hasil dapat dikatakan positif bila terbentuk partikel berwarna ungu di perbatasan antara antigen dan serum sampel.
2.    Uji Indirect immunofluorescence antibody (IFA)

Uji IFA dilakukan dengan metode seperti yang digambarkan oleh PETER et al., (1985). Secara singkat, 4 μl antigen fase II C . burnetii dalam PBS diteteskan diatas gelas slide multites dengan 15 sumur (ICN Biomedicals, Inc., Aurora, Ohio, USA) dan dibiarkan kering pada temperatur kamar. Gelas slide lalu difiksasi dengan aseton selama 15 menit pada temperatur kamar dan siap untuk digunakan. Sampel serum diencerkan dalam PBS dengan perbandingan 1:16 hingga 1:4096, selanjutnya 8 μl larutan serum ini dilapiskan pada antigen di gelas slide dan diinkubasi pada temperatur 37oC dengan kelembaban secukupnya selama satu jam. Setelah dicuci satu kali dengan air (distilled water), dua kali dengan PBS dan satu kali lagi dengan air, ditambahkan 8 μl antibodi fluorescence isothiocyanate-labelled antihuman IgM atau IgG dalam 0.001% larutan Evans Blue dan diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur 37oC. Kemudian gelas slide dicuci seperti sebelumnya, dikeringkan di udara dan mounted dalam 50% glycerol-PBS (pH 8.6) sebelum ditutup dengan cover glass. Slide diuji dibawah mikroskop fluorescence (Zeiss, Axioskop 2 plus, Germany) dengan perbesaran 400 x. Nilai batas ambang uji IFA untuk mendeteksi IgG adalah 1:128, sedangkan untuk IgM adalah 1:16. Kontrol positive dan kontrol negative disertakan disetiap uji yang dilakukan.
3.    Complement Fixation Test (CFT)

Complement fixation test (CFT) adalah CFT adalah metode serologis yang pertarna kali digunaltan untuk mengganti capillary tube (Field et 01. 1983). Metode ini dtemukan oleh Kolmer dan menggullakan 96-well U-bottomed nzicrotitre plates. Prinsip uji ini adalah adanya ikatan antara antigen dengm antibodi spesifik. Ikatan antigen dm antibodi tersebut akan berikatan dengan complement bind. Prosedur terakhir dari CFT adalalt penambahan hemolysin sensitized red blood cell. Bila terdapat antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen maka pada serum sampel tidak terjadi lysis dan akan terjadi reaksi positif berupa adanya endapan. Sedangkan apabila tidak terdapat antigen spesifik maka akan terjad serum sanlpel akan lisis dan tidak terdapat endapan. Uji ini sangat spesifik tetapi tidak terlalu sensitif bila dibandingkan dengan IFA dan ELISA (Anonim 2004). Serokonversi dalam uji ini lebih lambat tetapi dapat mendeteksi pada periode yang lama setelah kejadian penyakit sehingga dapat memberikan hasil yang baik jika digunakan sebagai metode diagnosa rutin. Uji CFT memiliki tingkat spesifitas terhadap IgM sebesar 90% dan tingkat sensitifitas 73% (Field et al. 2000). Uji ini bersifat sangat spesifik dan dapat dipakai untuk  mengindikasi Q-fever akut atau Q-fever kronis. Kekurangan dari metode CFT adalah sensitifitas uji ini leblh rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam interpretasi hasil d~bandingkand engan ELISA dan IFA.
4.    Enzyme-linked Immnunosorbent Assay (ELISA)

Enqnze-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan suatu metode uji
serologis yang pertama kali dibuat oleh Engvall dan Perlmann (1972) kemudian diubah oleh Schinski et al. (1976). Uji ELISA dilakukan untuk melihat kadar titer
antibodi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap C.bttmetii
Prinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen dan antibodi akan dilabel dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna dan terbaca pada ELISA-reader sebagai reaksi positif. Metode ini menggunakan piringan microtiter dengan 96 sumur. Sumur tersebut akan dilapisi dengan antigen inaktif C.burnetii. Kemudian pada sumur tersebut ditambahkan serum sampel yang telah diencerkan. Lalu diinkubasi dan kemudian dilakukan pencucian untuk membuang material yang tidak bereaksi. Lalu ditambahkan konjugat (ruminant anti-immunoglobulin) dan dilakukan pencucian lagi setelah inkubasi. Lalu ditambahkan chromogenic substrat. Lakukan pengocokan dan incubasi lalu reaksi yang terjadi dapat dibaca di ELISA reader

5.     Kombinasi Metode Serologis

Metode serologis dapat diaplikasikan secara bersama-sama. Kombinasi ini
bertujuan untuk meningkatkan akurasi dari metode serologis. Beberapa contoh metode kombinasi adalah CFT dengan IFA dan CFT dengan ELISA (Field et dl.
2000). Balikan metode serologis juga dapat diaplikasikan bersa~iia dengan metode molekuler seperti PCR yang telah dilakukan oleh Muraniatsu el al. (1997) pada sampel susu.
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polynierase Chain Reaction ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polirnerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sarnpel yang diperiksa. Polyrnerase Chain Reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998 ; Ogawa et a1 2004), dan belum dilakukan pada jaringan padat, seperti jantung dan hati. Tetapi pada tahun 2007, dilakukan penelitian C. burnetii yang menggunakan jantung dan hati sebagai sampel untuk melihat C. burnetii pada fase kronis (Mahatmi el a1 2007).
Prinsip tejadinya reaksi pada metode PCR adalah adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipuiasi melalui Empat tahapan suhu: denaturasi (pemisahan rantai), annealing, perpanjangan rantai oleh DNA polimerase dan pendinginan (Anonim 2004).
Empat langkah utama dalam PCR yang ini dilakukan berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkah-langkah ini dilaksanakan pada rnesin yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkah pertama adalah denaturasi pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari objek penelitian mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA template. Kemudian dilanjutkan dengan Annealing pada suhu 54'C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam nukleat yang digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer didesain secara khusus agar bisa berkomplemen/berpasangan dengan DNA templat. Primer didesain pula untuk mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan (misal DNA vinis WSSV). Dan langkah terakhir adalah Perpanjangan rantai pada suhu 72°C: Pada tahapan ini DNA polimerase yang ditelah ditambalkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir adalah pendinginan di suhu 4o C: rantai ganda DNA akan mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial. Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita analisis hasil amplifikasi. Amplifikasi adalah proses pembacaan hasil uji dengan mengunakan mesin PCR yang dielektroforesis dengan gel agarose 1,5% dalam lmtan lx Tris Acetate EDTA menggunakan tegangan 100 volt dan fiekuensi 50 Hz selama 30 menit. Kemudian dilihat di bawah sinar UV dan difoto.

v Cara Penanganan dan Penanggulangan
Pencegahan
Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi yaitu sebagi berikut :
·  Memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko
·  Disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa abortan dan fetus. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain.
·   Karantina ternak yang akan diimpor
·   Autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium
·  Pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008)
·  Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio
·  Dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.
Pengobatan
·      Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999).
·      Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin.
·      Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol (kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui.
·       Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi.
·      Pengawasan Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.
·      Obat-obat yang biasa digunkan untuk mengobati demam Q ini adalah doxycycline, tetracycline, chloramphenicol, ciprofloxacin, ofloxacin, dan hydroxychloroquine. Berikut ini adalah struktur dari tetracycline. Tetracycline memilki spectrum antibiotic penghambat yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces.


Penyakit Q-Fever

Penyakit Q-Fever
v Patogenesa
C. burnetti merupakan parasit intraseluler obligat yang terkait dengan genus Rickettsia. Demam Q adalah zoonosis yang sangat menular di mana reservoir utama adalah baik arthropoda (terutama kutu) atau hewan ternak, sapi misalnya, domba, kambing, meskipun hewan peliharaan (anjing, kelinci dan khususnya kucing) mungkin reservoir di daerah perkotaan, dan tikus liar telah terbukti menjadi reservoir potensial di Inggris
Hewan yang terinfeksi dengan menghirup atau menelan materi yang terinfeksi:  Ini menghasilkan spora yang dapat bertahan dalam tanah untuk 150 hari. Mereka menumpahkan bakteri dalam urin, feses atau susu.
Mereka jarang sakit, tetapi bakteri melokalisasi dalam uterus dan kelenjar susu dan menjadi diaktifkan kembali selama kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan aborsi dalam masalah domba dan reproduksi pada sapi. Konsentrasi yang sangat tinggi dari C. burnetii ditemukan di plasenta. 
Manusia biasanya terinfeksi dari hewan domestik: Ini adalah melalui menghirup organisme, meskipun kadang-kadang dengan menelan susu mentah.  Masa inkubasi sekitar 2 minggu (2-29 hari) setelah inhalasi
Demam Q Fever adalah penyakit di seluruh dunia dengan tahap akut dan kronis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii. Sapi, domba, dan kambing adalah reservoir utama meskipun berbagai spesies mungkin terinfeksi. Organisme yang diekskresikan dalam air susu, urin, dan feses hewan yang terinfeksi. Selama melahirkan organisme adalah gudang dalam jumlah tinggi dalam cairan ketuban dan plasenta. Organisme ini sangat kuat dan tahan terhadap panas, pengeringan, dan desinfektan yang umum yang memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan. Infeksi manusia biasanya terjadi jika terhirup dari organisme ini dari udara yang mengandung debu lumbung udara terkontaminasi oleh bahan plasenta kering, cairan kelahiran, dan kotoran hewan yang terinfeksi. Mode lainnya penularan ke manusia, termasuk gigitan kutu, konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau produk susu, dan penularan antar manusia, jarang terjadi. Manusia seringkali sangat rentan terhadap penyakit.
v Diagnosa Laboratorium
Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang.
Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
v Spesimen yang diambil untuk tujuan diagnosa laboratorium
Adapun diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. Burnetti jadi spesimen yang diambil berupa serum darah.
Sedangkan untuk pengujian IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi dengan mengambil spesimen  jaringan yang terinfeksi seperti pada organ plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain),
Selain itu spesimen lain yang bisa diambil untuk uji PCR yaitu susu, telur, kotoran dan cairan vagina.
v Pengujian di Laboratorium
Adapun pengujian-pengujian yang dilakukan dalam laboratorium yaitu sebagai berikut :
1.    Capillary-Tube Agglutination
Metode serologis ini merupakan salah satu metode serologis tertua yang dipakai untuk mendeteksi Q-fever selain n2icroagglutination technique dan indirecthaemolysis test (Anonim 2004). Uji ini dilakukan dengan mengambil serum darah dari hewan melalui vena jugularis dengan jumlah sekitar 10 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tube test yang steril dan disirnpan di dalam refrigerator bersuhu 4-10oC. Lalu antigen dimasukkan ke dalam capillary tube kira-kira 113 bagian dari capilla~y tube. Selanjutnya masukkan serum sampel dan Ietakkan dalam posisi vertikal di tanah liat dengan antigen berada di bawah. Kemudian disimpan dalam suhu karnar selama 4 jam, baru dibaca hasilnya. Setelah itu dibaca kembali hasilnya setelah 24 jam. Hasil dapat dikatakan positif bila terbentuk partikel berwarna ungu di perbatasan antara antigen dan serum sampel.
2.    Uji Indirect immunofluorescence antibody (IFA)

Uji IFA dilakukan dengan metode seperti yang digambarkan oleh PETER et al., (1985). Secara singkat, 4 μl antigen fase II C . burnetii dalam PBS diteteskan diatas gelas slide multites dengan 15 sumur (ICN Biomedicals, Inc., Aurora, Ohio, USA) dan dibiarkan kering pada temperatur kamar. Gelas slide lalu difiksasi dengan aseton selama 15 menit pada temperatur kamar dan siap untuk digunakan. Sampel serum diencerkan dalam PBS dengan perbandingan 1:16 hingga 1:4096, selanjutnya 8 μl larutan serum ini dilapiskan pada antigen di gelas slide dan diinkubasi pada temperatur 37oC dengan kelembaban secukupnya selama satu jam. Setelah dicuci satu kali dengan air (distilled water), dua kali dengan PBS dan satu kali lagi dengan air, ditambahkan 8 μl antibodi fluorescence isothiocyanate-labelled antihuman IgM atau IgG dalam 0.001% larutan Evans Blue dan diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur 37oC. Kemudian gelas slide dicuci seperti sebelumnya, dikeringkan di udara dan mounted dalam 50% glycerol-PBS (pH 8.6) sebelum ditutup dengan cover glass. Slide diuji dibawah mikroskop fluorescence (Zeiss, Axioskop 2 plus, Germany) dengan perbesaran 400 x. Nilai batas ambang uji IFA untuk mendeteksi IgG adalah 1:128, sedangkan untuk IgM adalah 1:16. Kontrol positive dan kontrol negative disertakan disetiap uji yang dilakukan.
3.    Complement Fixation Test (CFT)

Complement fixation test (CFT) adalah CFT adalah metode serologis yang pertarna kali digunaltan untuk mengganti capillary tube (Field et 01. 1983). Metode ini dtemukan oleh Kolmer dan menggullakan 96-well U-bottomed nzicrotitre plates. Prinsip uji ini adalah adanya ikatan antara antigen dengm antibodi spesifik. Ikatan antigen dm antibodi tersebut akan berikatan dengan complement bind. Prosedur terakhir dari CFT adalalt penambahan hemolysin sensitized red blood cell. Bila terdapat antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen maka pada serum sampel tidak terjadi lysis dan akan terjadi reaksi positif berupa adanya endapan. Sedangkan apabila tidak terdapat antigen spesifik maka akan terjad serum sanlpel akan lisis dan tidak terdapat endapan. Uji ini sangat spesifik tetapi tidak terlalu sensitif bila dibandingkan dengan IFA dan ELISA (Anonim 2004). Serokonversi dalam uji ini lebih lambat tetapi dapat mendeteksi pada periode yang lama setelah kejadian penyakit sehingga dapat memberikan hasil yang baik jika digunakan sebagai metode diagnosa rutin. Uji CFT memiliki tingkat spesifitas terhadap IgM sebesar 90% dan tingkat sensitifitas 73% (Field et al. 2000). Uji ini bersifat sangat spesifik dan dapat dipakai untuk  mengindikasi Q-fever akut atau Q-fever kronis. Kekurangan dari metode CFT adalah sensitifitas uji ini leblh rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam interpretasi hasil d~bandingkand engan ELISA dan IFA.
4.    Enzyme-linked Immnunosorbent Assay (ELISA)

Enqnze-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan suatu metode uji
serologis yang pertama kali dibuat oleh Engvall dan Perlmann (1972) kemudian diubah oleh Schinski et al. (1976). Uji ELISA dilakukan untuk melihat kadar titer
antibodi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap C.bttmetii
Prinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen dan antibodi akan dilabel dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna dan terbaca pada ELISA-reader sebagai reaksi positif. Metode ini menggunakan piringan microtiter dengan 96 sumur. Sumur tersebut akan dilapisi dengan antigen inaktif C.burnetii. Kemudian pada sumur tersebut ditambahkan serum sampel yang telah diencerkan. Lalu diinkubasi dan kemudian dilakukan pencucian untuk membuang material yang tidak bereaksi. Lalu ditambahkan konjugat (ruminant anti-immunoglobulin) dan dilakukan pencucian lagi setelah inkubasi. Lalu ditambahkan chromogenic substrat. Lakukan pengocokan dan incubasi lalu reaksi yang terjadi dapat dibaca di ELISA reader

5.     Kombinasi Metode Serologis

Metode serologis dapat diaplikasikan secara bersama-sama. Kombinasi ini
bertujuan untuk meningkatkan akurasi dari metode serologis. Beberapa contoh metode kombinasi adalah CFT dengan IFA dan CFT dengan ELISA (Field et dl.
2000). Balikan metode serologis juga dapat diaplikasikan bersa~iia dengan metode molekuler seperti PCR yang telah dilakukan oleh Muraniatsu el al. (1997) pada sampel susu.
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polynierase Chain Reaction ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polirnerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sarnpel yang diperiksa. Polyrnerase Chain Reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998 ; Ogawa et a1 2004), dan belum dilakukan pada jaringan padat, seperti jantung dan hati. Tetapi pada tahun 2007, dilakukan penelitian C. burnetii yang menggunakan jantung dan hati sebagai sampel untuk melihat C. burnetii pada fase kronis (Mahatmi el a1 2007).
Prinsip tejadinya reaksi pada metode PCR adalah adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipuiasi melalui Empat tahapan suhu: denaturasi (pemisahan rantai), annealing, perpanjangan rantai oleh DNA polimerase dan pendinginan (Anonim 2004).
Empat langkah utama dalam PCR yang ini dilakukan berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkah-langkah ini dilaksanakan pada rnesin yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkah pertama adalah denaturasi pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari objek penelitian mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA template. Kemudian dilanjutkan dengan Annealing pada suhu 54'C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam nukleat yang digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer didesain secara khusus agar bisa berkomplemen/berpasangan dengan DNA templat. Primer didesain pula untuk mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan (misal DNA vinis WSSV). Dan langkah terakhir adalah Perpanjangan rantai pada suhu 72°C: Pada tahapan ini DNA polimerase yang ditelah ditambalkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir adalah pendinginan di suhu 4o C: rantai ganda DNA akan mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial. Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita analisis hasil amplifikasi. Amplifikasi adalah proses pembacaan hasil uji dengan mengunakan mesin PCR yang dielektroforesis dengan gel agarose 1,5% dalam lmtan lx Tris Acetate EDTA menggunakan tegangan 100 volt dan fiekuensi 50 Hz selama 30 menit. Kemudian dilihat di bawah sinar UV dan difoto.

v Cara Penanganan dan Penanggulangan
Pencegahan
Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi yaitu sebagi berikut :
·  Memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko
·  Disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa abortan dan fetus. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain.
·   Karantina ternak yang akan diimpor
·   Autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium
·  Pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008)
·  Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio
·  Dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.
Pengobatan
·      Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999).
·      Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin.
·      Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol (kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui.
·       Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi.
·      Pengawasan Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.
·      Obat-obat yang biasa digunkan untuk mengobati demam Q ini adalah doxycycline, tetracycline, chloramphenicol, ciprofloxacin, ofloxacin, dan hydroxychloroquine. Berikut ini adalah struktur dari tetracycline. Tetracycline memilki spectrum antibiotic penghambat yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces.


Penyakit Q-Fever

Penyakit Q-Fever
v Patogenesa
C. burnetti merupakan parasit intraseluler obligat yang terkait dengan genus Rickettsia. Demam Q adalah zoonosis yang sangat menular di mana reservoir utama adalah baik arthropoda (terutama kutu) atau hewan ternak, sapi misalnya, domba, kambing, meskipun hewan peliharaan (anjing, kelinci dan khususnya kucing) mungkin reservoir di daerah perkotaan, dan tikus liar telah terbukti menjadi reservoir potensial di Inggris
Hewan yang terinfeksi dengan menghirup atau menelan materi yang terinfeksi:  Ini menghasilkan spora yang dapat bertahan dalam tanah untuk 150 hari. Mereka menumpahkan bakteri dalam urin, feses atau susu.
Mereka jarang sakit, tetapi bakteri melokalisasi dalam uterus dan kelenjar susu dan menjadi diaktifkan kembali selama kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan aborsi dalam masalah domba dan reproduksi pada sapi. Konsentrasi yang sangat tinggi dari C. burnetii ditemukan di plasenta. 
Manusia biasanya terinfeksi dari hewan domestik: Ini adalah melalui menghirup organisme, meskipun kadang-kadang dengan menelan susu mentah.  Masa inkubasi sekitar 2 minggu (2-29 hari) setelah inhalasi
Demam Q Fever adalah penyakit di seluruh dunia dengan tahap akut dan kronis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii. Sapi, domba, dan kambing adalah reservoir utama meskipun berbagai spesies mungkin terinfeksi. Organisme yang diekskresikan dalam air susu, urin, dan feses hewan yang terinfeksi. Selama melahirkan organisme adalah gudang dalam jumlah tinggi dalam cairan ketuban dan plasenta. Organisme ini sangat kuat dan tahan terhadap panas, pengeringan, dan desinfektan yang umum yang memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan. Infeksi manusia biasanya terjadi jika terhirup dari organisme ini dari udara yang mengandung debu lumbung udara terkontaminasi oleh bahan plasenta kering, cairan kelahiran, dan kotoran hewan yang terinfeksi. Mode lainnya penularan ke manusia, termasuk gigitan kutu, konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau produk susu, dan penularan antar manusia, jarang terjadi. Manusia seringkali sangat rentan terhadap penyakit.
v Diagnosa Laboratorium
Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang.
Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
v Spesimen yang diambil untuk tujuan diagnosa laboratorium
Adapun diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. Burnetti jadi spesimen yang diambil berupa serum darah.
Sedangkan untuk pengujian IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi dengan mengambil spesimen  jaringan yang terinfeksi seperti pada organ plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain),
Selain itu spesimen lain yang bisa diambil untuk uji PCR yaitu susu, telur, kotoran dan cairan vagina.
v Pengujian di Laboratorium
Adapun pengujian-pengujian yang dilakukan dalam laboratorium yaitu sebagai berikut :
1.    Capillary-Tube Agglutination
Metode serologis ini merupakan salah satu metode serologis tertua yang dipakai untuk mendeteksi Q-fever selain n2icroagglutination technique dan indirecthaemolysis test (Anonim 2004). Uji ini dilakukan dengan mengambil serum darah dari hewan melalui vena jugularis dengan jumlah sekitar 10 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tube test yang steril dan disirnpan di dalam refrigerator bersuhu 4-10oC. Lalu antigen dimasukkan ke dalam capillary tube kira-kira 113 bagian dari capilla~y tube. Selanjutnya masukkan serum sampel dan Ietakkan dalam posisi vertikal di tanah liat dengan antigen berada di bawah. Kemudian disimpan dalam suhu karnar selama 4 jam, baru dibaca hasilnya. Setelah itu dibaca kembali hasilnya setelah 24 jam. Hasil dapat dikatakan positif bila terbentuk partikel berwarna ungu di perbatasan antara antigen dan serum sampel.
2.    Uji Indirect immunofluorescence antibody (IFA)

Uji IFA dilakukan dengan metode seperti yang digambarkan oleh PETER et al., (1985). Secara singkat, 4 μl antigen fase II C . burnetii dalam PBS diteteskan diatas gelas slide multites dengan 15 sumur (ICN Biomedicals, Inc., Aurora, Ohio, USA) dan dibiarkan kering pada temperatur kamar. Gelas slide lalu difiksasi dengan aseton selama 15 menit pada temperatur kamar dan siap untuk digunakan. Sampel serum diencerkan dalam PBS dengan perbandingan 1:16 hingga 1:4096, selanjutnya 8 μl larutan serum ini dilapiskan pada antigen di gelas slide dan diinkubasi pada temperatur 37oC dengan kelembaban secukupnya selama satu jam. Setelah dicuci satu kali dengan air (distilled water), dua kali dengan PBS dan satu kali lagi dengan air, ditambahkan 8 μl antibodi fluorescence isothiocyanate-labelled antihuman IgM atau IgG dalam 0.001% larutan Evans Blue dan diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur 37oC. Kemudian gelas slide dicuci seperti sebelumnya, dikeringkan di udara dan mounted dalam 50% glycerol-PBS (pH 8.6) sebelum ditutup dengan cover glass. Slide diuji dibawah mikroskop fluorescence (Zeiss, Axioskop 2 plus, Germany) dengan perbesaran 400 x. Nilai batas ambang uji IFA untuk mendeteksi IgG adalah 1:128, sedangkan untuk IgM adalah 1:16. Kontrol positive dan kontrol negative disertakan disetiap uji yang dilakukan.
3.    Complement Fixation Test (CFT)

Complement fixation test (CFT) adalah CFT adalah metode serologis yang pertarna kali digunaltan untuk mengganti capillary tube (Field et 01. 1983). Metode ini dtemukan oleh Kolmer dan menggullakan 96-well U-bottomed nzicrotitre plates. Prinsip uji ini adalah adanya ikatan antara antigen dengm antibodi spesifik. Ikatan antigen dm antibodi tersebut akan berikatan dengan complement bind. Prosedur terakhir dari CFT adalalt penambahan hemolysin sensitized red blood cell. Bila terdapat antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen maka pada serum sampel tidak terjadi lysis dan akan terjadi reaksi positif berupa adanya endapan. Sedangkan apabila tidak terdapat antigen spesifik maka akan terjad serum sanlpel akan lisis dan tidak terdapat endapan. Uji ini sangat spesifik tetapi tidak terlalu sensitif bila dibandingkan dengan IFA dan ELISA (Anonim 2004). Serokonversi dalam uji ini lebih lambat tetapi dapat mendeteksi pada periode yang lama setelah kejadian penyakit sehingga dapat memberikan hasil yang baik jika digunakan sebagai metode diagnosa rutin. Uji CFT memiliki tingkat spesifitas terhadap IgM sebesar 90% dan tingkat sensitifitas 73% (Field et al. 2000). Uji ini bersifat sangat spesifik dan dapat dipakai untuk  mengindikasi Q-fever akut atau Q-fever kronis. Kekurangan dari metode CFT adalah sensitifitas uji ini leblh rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam interpretasi hasil d~bandingkand engan ELISA dan IFA.
4.    Enzyme-linked Immnunosorbent Assay (ELISA)

Enqnze-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan suatu metode uji
serologis yang pertama kali dibuat oleh Engvall dan Perlmann (1972) kemudian diubah oleh Schinski et al. (1976). Uji ELISA dilakukan untuk melihat kadar titer
antibodi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap C.bttmetii
Prinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen dan antibodi akan dilabel dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna dan terbaca pada ELISA-reader sebagai reaksi positif. Metode ini menggunakan piringan microtiter dengan 96 sumur. Sumur tersebut akan dilapisi dengan antigen inaktif C.burnetii. Kemudian pada sumur tersebut ditambahkan serum sampel yang telah diencerkan. Lalu diinkubasi dan kemudian dilakukan pencucian untuk membuang material yang tidak bereaksi. Lalu ditambahkan konjugat (ruminant anti-immunoglobulin) dan dilakukan pencucian lagi setelah inkubasi. Lalu ditambahkan chromogenic substrat. Lakukan pengocokan dan incubasi lalu reaksi yang terjadi dapat dibaca di ELISA reader

5.     Kombinasi Metode Serologis

Metode serologis dapat diaplikasikan secara bersama-sama. Kombinasi ini
bertujuan untuk meningkatkan akurasi dari metode serologis. Beberapa contoh metode kombinasi adalah CFT dengan IFA dan CFT dengan ELISA (Field et dl.
2000). Balikan metode serologis juga dapat diaplikasikan bersa~iia dengan metode molekuler seperti PCR yang telah dilakukan oleh Muraniatsu el al. (1997) pada sampel susu.
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polynierase Chain Reaction ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polirnerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sarnpel yang diperiksa. Polyrnerase Chain Reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998 ; Ogawa et a1 2004), dan belum dilakukan pada jaringan padat, seperti jantung dan hati. Tetapi pada tahun 2007, dilakukan penelitian C. burnetii yang menggunakan jantung dan hati sebagai sampel untuk melihat C. burnetii pada fase kronis (Mahatmi el a1 2007).
Prinsip tejadinya reaksi pada metode PCR adalah adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipuiasi melalui Empat tahapan suhu: denaturasi (pemisahan rantai), annealing, perpanjangan rantai oleh DNA polimerase dan pendinginan (Anonim 2004).
Empat langkah utama dalam PCR yang ini dilakukan berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkah-langkah ini dilaksanakan pada rnesin yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkah pertama adalah denaturasi pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari objek penelitian mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA template. Kemudian dilanjutkan dengan Annealing pada suhu 54'C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam nukleat yang digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer didesain secara khusus agar bisa berkomplemen/berpasangan dengan DNA templat. Primer didesain pula untuk mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan (misal DNA vinis WSSV). Dan langkah terakhir adalah Perpanjangan rantai pada suhu 72°C: Pada tahapan ini DNA polimerase yang ditelah ditambalkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir adalah pendinginan di suhu 4o C: rantai ganda DNA akan mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial. Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita analisis hasil amplifikasi. Amplifikasi adalah proses pembacaan hasil uji dengan mengunakan mesin PCR yang dielektroforesis dengan gel agarose 1,5% dalam lmtan lx Tris Acetate EDTA menggunakan tegangan 100 volt dan fiekuensi 50 Hz selama 30 menit. Kemudian dilihat di bawah sinar UV dan difoto.

v Cara Penanganan dan Penanggulangan
Pencegahan
Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi yaitu sebagi berikut :
·  Memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko
·  Disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa abortan dan fetus. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain.
·   Karantina ternak yang akan diimpor
·   Autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium
·  Pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008)
·  Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio
·  Dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.
Pengobatan
·      Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999).
·      Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin.
·      Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol (kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui.
·       Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi.
·      Pengawasan Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.
·      Obat-obat yang biasa digunkan untuk mengobati demam Q ini adalah doxycycline, tetracycline, chloramphenicol, ciprofloxacin, ofloxacin, dan hydroxychloroquine. Berikut ini adalah struktur dari tetracycline. Tetracycline memilki spectrum antibiotic penghambat yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces.


Copyright 2009 Assalamualaikum Penikmat BIRU..!!!. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy