Penyakit
Q-Fever
v Patogenesa
C. burnetti merupakan
parasit intraseluler obligat yang terkait dengan genus Rickettsia. Demam Q
adalah zoonosis yang sangat menular di mana reservoir utama adalah baik
arthropoda (terutama kutu) atau hewan ternak, sapi misalnya, domba, kambing,
meskipun hewan peliharaan (anjing, kelinci dan khususnya kucing) mungkin
reservoir di daerah perkotaan, dan tikus liar telah terbukti menjadi reservoir
potensial di Inggris
Hewan yang terinfeksi
dengan menghirup atau menelan materi yang terinfeksi: Ini
menghasilkan spora yang dapat bertahan dalam tanah untuk 150 hari. Mereka
menumpahkan bakteri dalam urin, feses atau susu.
Mereka jarang sakit,
tetapi bakteri melokalisasi dalam uterus dan kelenjar susu dan menjadi
diaktifkan kembali selama kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan aborsi dalam
masalah domba dan reproduksi pada sapi. Konsentrasi yang sangat tinggi
dari C. burnetii ditemukan di plasenta.
Manusia biasanya
terinfeksi dari hewan domestik: Ini adalah melalui menghirup organisme,
meskipun kadang-kadang dengan menelan susu mentah. Masa inkubasi
sekitar 2 minggu (2-29 hari) setelah inhalasi
Demam Q Fever adalah
penyakit di seluruh dunia dengan tahap akut dan kronis yang disebabkan oleh
bakteri Coxiella burnetii. Sapi, domba, dan kambing adalah reservoir utama
meskipun berbagai spesies mungkin terinfeksi. Organisme yang diekskresikan
dalam air susu, urin, dan feses hewan yang terinfeksi. Selama melahirkan
organisme adalah gudang dalam jumlah tinggi dalam cairan ketuban dan plasenta.
Organisme ini sangat kuat dan tahan terhadap panas, pengeringan, dan
desinfektan yang umum yang memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam
jangka waktu lama di lingkungan. Infeksi manusia biasanya terjadi jika terhirup
dari organisme ini dari udara yang mengandung debu lumbung udara terkontaminasi
oleh bahan plasenta kering, cairan kelahiran, dan kotoran hewan yang terinfeksi.
Mode lainnya penularan ke manusia, termasuk gigitan kutu, konsumsi susu yang
tidak dipasteurisasi atau produk susu, dan penularan antar manusia, jarang
terjadi. Manusia seringkali sangat rentan terhadap penyakit.
v Diagnosa Laboratorium
Gejala
dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat
diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk
menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi
kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji
yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin
dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paru-paru
fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan
menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl
neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan
lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk
pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang.
Beberapa
penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk
mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam
waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang
telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube
agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA)
(Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
v Spesimen yang diambil untuk tujuan
diagnosa laboratorium
Adapun diagnosa yang
diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah
untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. Burnetti jadi spesimen
yang diambil berupa serum darah.
Sedangkan untuk
pengujian IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum
digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi
dengan mengambil spesimen jaringan yang
terinfeksi seperti pada organ plasenta, hati, paru-paru fetus yang mati dan
jaringan lain),
Selain itu spesimen
lain yang bisa diambil untuk uji PCR yaitu susu, telur, kotoran dan cairan
vagina.
v Pengujian di Laboratorium
Adapun
pengujian-pengujian yang dilakukan dalam laboratorium yaitu sebagai berikut :
1. Capillary-Tube
Agglutination
Metode serologis ini merupakan salah satu metode
serologis tertua yang dipakai untuk mendeteksi Q-fever selain n2icroagglutination
technique dan indirecthaemolysis test (Anonim 2004). Uji ini
dilakukan dengan mengambil serum darah dari hewan melalui vena jugularis dengan
jumlah sekitar 10 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tube test yang steril dan
disirnpan di dalam refrigerator bersuhu 4-10oC. Lalu antigen
dimasukkan ke dalam capillary tube kira-kira 113 bagian dari capilla~y
tube. Selanjutnya masukkan serum sampel dan Ietakkan dalam posisi vertikal
di tanah liat dengan antigen berada di bawah. Kemudian disimpan dalam suhu
karnar selama 4 jam, baru dibaca hasilnya. Setelah itu dibaca kembali hasilnya
setelah 24 jam. Hasil dapat dikatakan positif bila terbentuk partikel berwarna
ungu di perbatasan antara antigen dan serum sampel.
2.
Uji Indirect immunofluorescence antibody (IFA)
Uji
IFA dilakukan dengan metode seperti yang digambarkan oleh PETER et al.,
(1985). Secara singkat, 4 μl antigen fase II C . burnetii dalam
PBS diteteskan diatas gelas slide multites dengan 15 sumur (ICN Biomedicals,
Inc., Aurora, Ohio, USA) dan dibiarkan kering pada temperatur kamar. Gelas
slide lalu difiksasi dengan aseton selama 15 menit pada temperatur kamar dan
siap untuk digunakan. Sampel serum diencerkan dalam PBS dengan perbandingan
1:16 hingga 1:4096, selanjutnya 8 μl larutan serum ini dilapiskan pada antigen
di gelas slide dan diinkubasi pada temperatur 37oC dengan kelembaban secukupnya
selama satu jam. Setelah dicuci satu kali dengan air (distilled water),
dua kali dengan PBS dan satu kali lagi dengan air, ditambahkan 8 μl antibodi fluorescence
isothiocyanate-labelled antihuman IgM atau IgG dalam 0.001% larutan Evans
Blue dan diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur 37oC. Kemudian
gelas slide dicuci seperti sebelumnya, dikeringkan di udara dan mounted dalam
50% glycerol-PBS (pH 8.6) sebelum ditutup dengan cover glass. Slide
diuji dibawah mikroskop fluorescence (Zeiss, Axioskop 2 plus, Germany)
dengan perbesaran 400 x. Nilai batas ambang uji IFA untuk mendeteksi IgG adalah
1:128, sedangkan untuk IgM adalah 1:16. Kontrol positive dan kontrol negative
disertakan disetiap uji yang dilakukan.
3. Complement Fixation Test (CFT)
Complement fixation test (CFT)
adalah CFT adalah metode serologis yang pertarna kali digunaltan untuk
mengganti capillary tube (Field et 01. 1983). Metode ini dtemukan
oleh Kolmer dan menggullakan 96-well U-bottomed nzicrotitre plates. Prinsip
uji ini adalah adanya ikatan antara antigen dengm antibodi spesifik. Ikatan antigen
dm antibodi tersebut akan berikatan dengan complement bind. Prosedur terakhir
dari CFT adalalt penambahan hemolysin sensitized red blood cell. Bila terdapat
antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen maka pada serum sampel tidak
terjadi lysis dan akan terjadi reaksi positif berupa adanya endapan. Sedangkan apabila
tidak terdapat antigen spesifik maka akan terjad serum sanlpel akan lisis dan tidak
terdapat endapan. Uji ini sangat spesifik tetapi tidak terlalu sensitif bila
dibandingkan dengan IFA dan ELISA (Anonim 2004). Serokonversi dalam uji ini
lebih lambat tetapi dapat mendeteksi pada periode yang lama setelah kejadian
penyakit sehingga dapat memberikan hasil yang baik jika digunakan sebagai
metode diagnosa rutin. Uji CFT memiliki tingkat spesifitas terhadap IgM sebesar
90% dan tingkat sensitifitas 73% (Field et al. 2000). Uji ini bersifat
sangat spesifik dan dapat dipakai untuk
mengindikasi Q-fever akut atau Q-fever kronis. Kekurangan dari metode
CFT adalah sensitifitas uji ini leblh rendah dan memerlukan waktu yang lebih
lama dalam interpretasi hasil d~bandingkand engan ELISA dan IFA.
4.
Enzyme-linked Immnunosorbent Assay (ELISA)
Enqnze-linked immunosorbent assay (ELISA)
merupakan suatu metode uji
serologis
yang pertama kali dibuat oleh Engvall dan Perlmann (1972) kemudian diubah oleh
Schinski et al. (1976). Uji ELISA dilakukan untuk melihat
kadar titer
antibodi
immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap C.bttmetii
Prinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan
antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen dan antibodi akan dilabel
dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna dan terbaca pada ELISA-reader
sebagai reaksi positif. Metode ini menggunakan piringan microtiter dengan
96 sumur. Sumur tersebut akan dilapisi dengan antigen inaktif C.burnetii.
Kemudian pada sumur tersebut ditambahkan serum sampel yang telah diencerkan.
Lalu diinkubasi dan kemudian dilakukan pencucian untuk membuang material
yang tidak bereaksi. Lalu ditambahkan konjugat (ruminant anti-immunoglobulin)
dan dilakukan pencucian lagi setelah inkubasi. Lalu ditambahkan chromogenic
substrat. Lakukan pengocokan dan incubasi lalu reaksi yang terjadi dapat dibaca
di ELISA reader
5. Kombinasi
Metode Serologis
Metode serologis dapat diaplikasikan secara
bersama-sama. Kombinasi ini
bertujuan
untuk meningkatkan akurasi dari metode serologis. Beberapa contoh metode
kombinasi adalah CFT dengan IFA dan CFT dengan ELISA (Field et dl.
2000).
Balikan metode serologis juga dapat diaplikasikan bersa~iia dengan metode molekuler
seperti PCR yang telah dilakukan oleh Muraniatsu el al. (1997) pada sampel
susu.
6.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polynierase Chain Reaction ditemukan
pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985. PCR adalah teknik yang didasari
oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polirnerase
sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii
pada sarnpel yang diperiksa. Polyrnerase Chain Reaction memiliki
tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada
serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998 ; Ogawa et a1 2004),
dan belum dilakukan pada jaringan padat, seperti jantung dan hati. Tetapi pada
tahun 2007, dilakukan penelitian C. burnetii yang menggunakan jantung
dan hati sebagai sampel untuk melihat C. burnetii pada fase kronis
(Mahatmi el a1 2007).
Prinsip tejadinya reaksi pada metode PCR adalah
adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipuiasi
melalui Empat tahapan suhu: denaturasi (pemisahan rantai), annealing,
perpanjangan rantai oleh DNA polimerase dan pendinginan (Anonim 2004).
Empat langkah utama dalam PCR yang ini dilakukan
berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkah-langkah ini dilaksanakan pada rnesin
yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkah pertama
adalah denaturasi pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari
objek penelitian mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA
sebagai DNA template. Kemudian dilanjutkan dengan Annealing pada suhu
54'C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam nukleat yang
digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada media
menempel pada rantai DNA. Primer didesain secara khusus agar bisa
berkomplemen/berpasangan dengan DNA templat. Primer didesain pula untuk mengamplifikasi
target DNA yang kita inginkan (misal DNA vinis WSSV). Dan langkah terakhir
adalah Perpanjangan rantai pada suhu 72°C: Pada tahapan ini DNA
polimerase yang ditelah ditambalkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan
rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir
adalah pendinginan di suhu 4o C: rantai ganda DNA akan
mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial.
Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin
kita ketahui) memadai untuk kita analisis hasil amplifikasi. Amplifikasi adalah
proses pembacaan hasil uji dengan mengunakan mesin PCR yang dielektroforesis dengan
gel agarose 1,5% dalam lmtan lx Tris Acetate EDTA menggunakan tegangan
100 volt dan fiekuensi 50 Hz selama 30 menit. Kemudian dilihat di bawah sinar
UV dan difoto.
v Cara Penanganan dan Penanggulangan
Pencegahan
Pencegahan
penyakit Q fever selain vaksinasi yaitu sebagi berikut :
·
Memberikan edukasi pada individu atau kelompok
yang berisiko
·
Disposal (prosedur pemusnahan dengan cara
pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa abortan dan fetus. Plasenta
sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran
dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida)
untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang
melahirkan dijaga dari hewan lain.
·
Karantina
ternak yang akan diimpor
·
Autoclave
dan disinfeksi peralatan laboratorium
·
Pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C
selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C
selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2
menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C.
burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008)
·
Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan
menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio
·
Dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan
pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang
aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis
atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C.
burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan
terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q
Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain
Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara
subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002).
Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes
serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.
Pengobatan
·
Penyakit Q fever dapat disembuhkan
apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999).
·
Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan
kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin.
·
Penyakit yang kronis pengobatan dapat
berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai
untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol
(kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat
menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q
fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya Efektifitas
pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui.
·
Pemberian
antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba
yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk
menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi.
·
Pengawasan Q fever yang terbaik di
peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.
·
Obat-obat yang biasa digunkan untuk mengobati
demam Q ini adalah doxycycline, tetracycline, chloramphenicol, ciprofloxacin,
ofloxacin, dan hydroxychloroquine. Berikut ini adalah struktur dari
tetracycline. Tetracycline memilki spectrum antibiotic penghambat yang
dihasilkan oleh bakteri Streptomyces.