RSS

Blue Tongue


Penyakit Blue Tongue

Nama lain: Ovine Catarrhal Fever (OCF), Penyakit Lidah Biru, atau di Indonesia dikenal sebagai BT. Merupakan penyakit menular pada domba ditandai dengan stomatitis kataral, rhinitis, enteritis, pincang karena peradangan sarung kuku, abortus, kerdil dan hyperplasia limforetikuler. Bluetongue kadang-kadang juga menyerang kambing dan sapi dengan gejala tidak kentara, tetapi penyakit ini dapat serius pada beberapa spesies hewan liar khususnya rusa ekor putih (Odocoileus virginianus) di Amerika Utara.
Penyakit ini sangat penting artinya pada domba, dengan tingkat keganasan yang beragam dari subklinis sampai serius tergantung kepada galur virus, bangsa domba, dan ekologi setempat. Kerugian timbul akibat kematian dan buruknya kondisi domba yang bertahan hidup.
Penyakit lidah biru (bluetongue) termasuk penyakit infeksi tetapi ticlak menular secara kontak . Penyakit bluetongue merupakan salah satu penyakit arbovirus yang dapat menimbulkan gejala klinik sehingga bprdampak negatif bagi petani ternak . Penyakit ini dapat menyerang ruminansia besar seperti kerbau clan sapi, clan ruminansia kecil termasuk domba clan kambing (St George,1985) .
Di Indonesia, penyakit bluetongue pernah dilaporkan terjadi pada domba impor pada tahun 1981 (Sudana clan Malole, 1982) . Namun kejadiannya pads ternak lokal belum pernah dilaporkan . Hasil uji serologik menunjukkan bahwa kerbau clan sapi mempunyai angka prevalensi yang tinggi (60%-70%) dibanding pada domba clan kambing (20%-30%) (Sendow dkk. 1986) . Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit ini antara lain abortus, kemandulan sementara, penurunan berat badan ataupun penurunan produksi susu pada ternak perah (Erasmus, 1975 ; Osburn, 1985) . Di Indonesia, isolasi virus yang berasal dari sapi perah lokal telah diperoleh hasilnya (Sendow dkk,1991).
Kasus BT (Blue Tongue) di Indonesia pada ternak lokal belum pernah dilaporkan. Wabah BT hanya terjadi pertama kali dan terakhir kali pada domba impor Suffolk pada tahun 1981. Saat itu morbiditasnya mencapai 90% dengan mortalitas 30%.  Bluetongue adalah salah satu penyakit arbovirus. Penularan penyakit tidak melalui kontak langsung, tetapi harus melalui vektor nyamuk. Jenis nyamuk yang dapat bertindak sebagai vektor antara lain adalah jenis Culicoides spp.
Penularan virus melalui vektor terjadi secara mekanis maupun biologis, atau melalui inseminasi buatan dengan semen yang telah terkontaminasi virus BT. Penularan ini tidak dapat melalui kontak langsung, makanan dan udara. Penularan secara mekanis terjadi apabila virus ditularkan tanpa melalui proses replikasi pada tubuh serangga. Penularan secara biologis terjadi apabila virus bereplikasi pada tubuh vektor sebelum ditularkan ke ternak lainnya. Vektor berupa serangga memainkan peranan yang sangat penting dalam menularkan penyakit BT dari hewan yang satu ke hewan yang lain. Hingga saat ini vektor BT yang telah diketahui antara lain adalah C. brevitarsis, C.fulvus, C. imicola, dan C. variipennis .
Ø Etiologi

Penyakit blue tongue disebabkan oleh orbivirus RNA beruntai ganda (double stranded) yang termasuk keluarga Reoviridae. Virus ini tahan terhadap eter, kloroform dan deoksikholat, tetapi sensitive terhadap tripsin. Dibandingkan dengan virus lain, virus blue tongue relative lebih stabil. Dalam darah yang sudah tidak mengandung fibrinogen, darah berisi antikoagulan ataupun suspensi jaringan limpa yang disimpan pada suhu 4oC, virus ini tahan selama beberapa tahun. Masa viremia pada domba dapat mencapai 30 hari, sedangkan pada sapi 300 hari. Jadi sapi merupakan reservoir yang potensial.
Virus blue tongue berukuran 100 – 150 mu, tahan terhadap keadaan busuk dan tumbuh cepat pada telur ayam tertunas pada suhu 33,5oC, sedangkan dilaboratorium virus tumbuh pada biakan sel dan telur embrio bertunas.
Dengan mikroskop electron para peneliti berhasil mengidentifikasi bahwa virion mempunyai garis tengah antara 50 – 110 nm, tidak berkapsul dan mempunyai RNA beruntai ganda. Menurut jansen, partikel virus yang berlipat ganda di dalam sitoplasma sel induk semang, virus ini dapat hidup selama 25 tahun dalam darah bersitrat pada suhu kamar. Nilai kestabilan pH yang menguntungkan bervariasi dari 6 sampai 8. Pada suhu 60oC, virus dapat di nonaktifkan dalam waktu 30 menit.
Neitz berhasil mengidentifikasikan 12 tipe antigen, sedangkan Howel menambah 4 tipedan menurut Bowne diantara tipe – tipe ini 6 tipe ditemukan di Amerika. Sampai saat ini, telah diketahui ada 22 serotipe virus bluetongue, 4 serotipe ada di Amerika serikat sedangkan 3 serotipe ditemukan di Australia.
Beberapa serotype yang ada di Afrika, Timur Tengah, Amerika, Pakistan, India, mempunyai patogenitas tinggi, sedangkan serotype yang ada di Australia dikatakan kurang pathogen pada domba maupun ruminansia yang lain. Hewan yang sembuh mempunyai kekebalan terhadap galur virus yang sama, selama kira – kira satu tahun.
Ø Gejala Klinis

Pada infeksi percobaan, masa inkubasi penyakit 2-4 hari, ditandai dengan demam tinggi (40,5-41°C) yang berlangsung 5-6 hari. Pada domba, penyakit ini dicirikan oleh demam yang dapat berlangsung beberapa hari sebelum hiperemia, pengeluaran air liur berlebihan (hipersalivasi), dan buih pada mulut menjadi kentara; cairan hidung pada awalnya encer kemudian menjadi kental dan bercampur darah. Bibir, lidah, gusi dan bantalan gigi bengkak dan oedema. Jika selaput lender mulut terkikis lama-kelamaan akan berubah menjadi bentuk luka dan air liur terangsang keluar dan mulut berbau busuk.
Luka-luka tersebut juga dapat ditemukan di bagian samping lidah. Hewan sulit menelan ludah dan gerak pernafasannya meningkat, sering pula diikuti dengan diare dan disentri. Luka juga dapat ditemukan pada teracak mengakibatkan kaki pincang dan, sering rebah-rebah, malas berjalan dan menyebabkan rasa sakit yang hebat. Kepala sering dibengkokkan ke samping mirip penyakit milk fever. Bulu-bulu wool rontok dan kotor. Penyakit yang menyerang rusa serupa, sebaliknya pada sapi tidak kentara dan jarang bersifat akut. Pada pedet dan anak domba yang terinfeksi in utero, viremia dapat terjadi pada saat lahir dan berlangsung sampai beberapa hari.
Pada kambing, gejala yang terlihat berupa demam, konjungtivitis, lekopenia dan kemerahan pada selaput lender mulut.
Ø Patogenesa
Virus BT mengadakan perbanyakan dalam sel hemopoietik dan sel endotel pembuluh darah, yang kemudian menyebabkan lesi epithelial BT yang tersifat. Viremia biasanya terjadi pada stadium awal penyakit. Domba dewasa kadang-kadang menderita viremia paling lama 14-28 hari, dan pada sapi virus dapat bertahan selama 10 minggu. .
Ø Diagnosa
Bluetongue dapat didiagnosa berdasarkan epidemiologis, gejala klinis, patologis, isolasi dan identifikasi virus. Kambing yang memperlihatkan lekopenia, limfopenia dan anemia adalah konsisten seperti pada domba. Antigen virus BT dalam C. variipennis dapat dideteksi dengan FAT, sedangkan antibodi grup spesifik dapat dideteksi pada minggu pertama atau kedua pascainfeksi dengan beberapa uji serologis seperti agar gel precipitation (AGP), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) immunoprecipitating dan immunoblotting. Antibodi virus spesifik dapat dideteksi dalam waktu 9 hari pascainfeksi dengan competitive ELISA (C-ELISA). Semua protein virus struktur dan non struktur dapat dideteksi dengan immunoblotting atau dot blot immunobinding assay (DIA) dan immunoprecipitation serta fragmen DNA dapat dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR).
Virus BT sering sulit diisolasi di laboratorium. Peluang untuk mengisolasi virus meningkat bila darah diambil dari hewan yang menunjukkan tanda-tanda klinis awal atau demam yang hebat, dan isolasi virus kemungkinan besar berhasil bila lapis sel darah putih diinokulasikan secara intravena ke dalam embrio ayam umur 10 atau 11 hari.
Bluetongue dapat didiagnosa berdasarkan epidemiologis, gejala klinis, patologis, isolasi dan identifikasi virus. Kambing yang memperlihatkan lekopenia, limfopenia dan anemia adalah konsisten seperti pada domba. Antigen virus BT dalam C. variipennis dapat dideteksi dengan FAT, sedangkan antibodi grup spesifik dapat dideteksi pada minggu pertama atau kedua pascainfeksi dengan beberapa uji serologis seperti agar gel precipitation (AGP), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) immunoprecipitating dan immunoblotting. Antibodi virus spesifik dapat dideteksi dalam waktu 9 hari pascainfeksi dengan competitive ELISA (C-ELISA). Semua protein virus struktur dan non struktur dapat dideteksi dengan immunoblotting atau dot blot immunobinding assay (DIA) dan immunoprecipitation serta fragmen DNA dapat dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR).
Virus BT sering sulit diisolasi di laboratorium. Peluang untuk mengisolasi virus meningkat bila darah diambil dari hewan yang menunjukkan tanda-tanda klinis awal atau demam yang hebat, dan isolasi virus kemungkinan besar berhasil bila lapis sel darah putih diinokulasikan secara intravena ke dalam embrio ayam umur 10 atau 11 hari.
Diagnosis penyakit BT dilakukan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis anatomis dan diikuti oleh pemeriksaan serologis, isolasi agen penyebab dan karakterisasi dari isolat virus yang diperoleh. Pada kejadian wabah BT di Indonesia tahun 1981,diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis anatomis,dan hasil pemeriksaan serologis dengan teknik Agar Gel Immunodiffusion(AGID)(Sudana dan Malole 1982). Uji serologis dengan AGID mempunyai beberapa kelemahan antara lain terjadinya reaksi silang antara kelompok orbivirus seperti BT, Epizootic Haemmorhagic Disease (EHD) dan Eubenangee.
Untuk mengidentifikasi serotipe virus BT diperlukan uji serum netralisasi. Kendala lain dalam pengujian ini adalah diperlukannya seluruh serotipe BT sebanyak 24, yang tentunya hanya dimiliki oleh laboratorium rujukan saja. Untuk mengatasi masalah tersebut,diperlukan uji kelompok yang sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis BT. Lunt  telah mengembangkan teknik deteksi antibodi yang spesifik terhadap semua serotipe BT.
Teknik tersebut akhirnya diadopsi sebagai uji penyaringan dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap virus BT yang dikenal sebagai uji kompetitif ELISA (C-ELISA). Uji ini telah digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kelompok virus BT sebagai pengganti uji AGID dalam rangka penelitian epidemiologi infeksi BT, sehingga gambaran musim penyakit BT dapat diketahui. Hasil penelitian Sendow menunjukkan bahwa infeksi BT terjadi pada awal dan akhir musim hujan, dan prevalensi reaktor lebih tinggi pada ruminansia besar dibanding ruminansia kecil. Hal tersebut berkaitan dengan populasi vektor sebagai penular BT dari hewan ke hewan. Lebih lanjut Purse menunjukkan bahwa terjadinya wabah dapat diprediksi dan sangat berhubungan dengan perubahan variabel iklim. Wabah BT dapat terjadi pada kondisi suhu udara rendah dengan kelembapan yang tinggi. (Dari berbagai sumber)
Ø Diagnosa Banding
Penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan penyakit Epizootic Haemorrhagic pada rusa, tetapi dapat dibedakan secara serologis dan sifat pertumbuhan virus pada telur ayam berembrio disamping itu tingkat kematian pada epizootic haemorrhagic tinggi dan menyerang segala umur. BT juga mirip dengan beberapa penyakit, Orf atau Contagious Ecthyma, Ulcerative Dermatosis dan Sheep Pox. Sheep pox umumnya ditandai dengan tingkat kematian yang tinggi dengan lesi pox yang tersifat
Ø Epidemiologi
Bluetongue tersebar luas di dunia. Afrika dilaporkan telah ditemukan lebih dari 100 tahun lalu, kemudian terjadi pula di Siprus, Yunani, Israel, Portugal, Spanyol, Turki, Lebanon, Oman, yaman, Syria, Saudi Arabia, Mesir, Pakistan, India, Bangladesh, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin, Kanada, Australia, New Zealand, Papua New Guinea, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia ditemukan pada beberapa propinsi, diantaranya Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, Bali, NTB, NTT, dan Timor Leste terdeteksi antibodinya. Hewan Terserang Bluetongue menyerang domba, kambing, sapi, kerbau, dan ruminansia lain seperti rusa. Domba merupakan hewan paling peka terutama yang berumur 1 tahun, sedangkan anak domba yang masih menyusui relative tahan karena telah memperoleh kekebalan pasif dari induk (antibodi maternal) dan antibodi ini biasanya bertahan sampai 2 bulan. Ras domba Inggris dan Merino lebih peka dibandingkan dengan domba Afrika.
Ø F. Preventif
Di beberapa negara yang secara klinik BT ditemukan, pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan vaksinasi . Vaksin yang digunakan dapat berbentuk vaksin aktif maupun inaktif.
Jenis vaksin yang digunakan dapat terdiri dari :
1 . Vaksin monovalen, yang terdiri dari 1 tipe virus BT .
2 . Vaksin bivalen, yang terdiri dari 2 tipe virus BT .
3. Vaksin polivalen, yang terdiri lebih dari 2 tipe virus BT .
Di Indonesia, pencegahan dengan vaksinasi terhadap ternak lokal tidak dilakukan, mengingat gejala klinik yang ditimbulkan belum dilaporkan ada dan tipe virus BT yang berada di Indonesia saat ini masih dalam proses penelitian . Namun perlu dipertimbangkan vaksinasi terhadap domba yang akan diimpor ke Indonesia, terutama domba yang berasal dari daerah bebas BT, agar tidak terinfeksi oleh virus BT yang ada di Indonesia . Sampai saat ini belum diketahui apakah pemberian vaksin dari tipe tertentu akan memberikan proteksi silang terhadap infeksi tipe lainnya .
Alternatif lain adalah dengan pemberantasan vektor penyakit . Namun hal ini sangat sulit untuk dilakukan, baik dari segi ekonomik maupun efisiensi . Beberapa jenis Culicoides sp . yang dapat bertindak sebagai vektor BT, mempunyai media perkembang biakan pada campuran kotoran sapi dan lumpur . Perkembangbiakan serangga tadi mungkin dapat dihambat apabila sanitasi kandang diperhatikan dengan baik .
Ø Morbiditas dan Mortalitas
Tingkat morbiditas dan mortalitas bervariasi tergantung dari populasi vector dan status hewan. Jika penyakit terjadi pertama kali di suatu daerah maka tingkat morbiditas bias mencapai 50-75% dan mortalitas 20-50%, selanjutnya setelah terjadi kekebalan kelompok dan populasi vektor rendah maka tingkat morbiditas dan mortalitas menjadi rendah pula.
Ø Pencegahan dan Pengendalian
Virus BT sekarang diketahui dapat menginfeksi ruminansia di tiap benua yang ada ternaknya. Geografi dan iklim mendorong terjadinya epidemik lidah biru di daerah tertentu tergantung kepada masuknya vektor serangga ke daerah yang ternaknya rentan. Hewan yang sakit dipisah dan tidak memasukkan hewan tertular ke daerah yang bebas. Melakukan penyemprotan dengan insektisida pada kandang atau lokasi disekitarnya untuk mengurangi populasi nyamuk dan vektor mekanis lainnya.
Pengendalian melalui vaksinasi sangat perlu di daerah endemik virus BT yang virulen. Vaksin BT telah dikembangkan yaitu vaksin hidup dan vaksin mati. Vaksin hidup yang dilemahkan seringkali menimbulkan kasus pascavaksinasi, sedangkan vaksin mati lebih aman, akan tetapi daya rangsangan pembentukan antibodi sangat lemah dan pemberian dosis yang besar.
Penelitian selanjutnya dikembangkan vaksin rekayasa genetik yaitu digunakan vaksin yang berasal dari protein P2 virus BT dan disuntikkan 3X100mcg P2 yang dapat memproteksi 100% dan titer antibodi yang tinggi setelah 40-42 hari.
Referensi :
 http://adhona-gsm.blogspot.com/2010_08_01_archive.html
 Sendow,Indrawati.1993.Infeksi virus lidah biru (bluetongue) pada ternak ruminansia di Indonesia.Balai Penelitian Veteriner.Bogor
 http://drhyudi.blogspot.com/2009/02/penyakit-viral-hewan-kecil.html
 Pudjawati,Lilik.1983. Cwliceides (DIPTERA:CERATOPOGONIDAE) DAN
http://dewchusniasih.blogspot.com/2012/12/rinderpest-virus.html


0 komentar:

Copyright 2009 Assalamualaikum Penikmat BIRU..!!!. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy